Tapera Tuai Polemik, Buruh Sukabumi: Jangan Paksa Rakyat Kecil untuk Biayai Negara dan Orang Kaya

Ilustrasi buruh. Foto: Istimewa.
Ilustrasi buruh. Foto: Istimewa.

HALOSMI.COM – Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) saat ini menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan oleh sejumlah pejabat politik hingga masyarakat.

Aturan terkait Tapera itu menuai polemik di tengah-tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lesu. Sebab, beleid itu disebut bakal memotong gaji pekerja di Indonesia sebesar 2,5 persen setiap bulan.

Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi pun mendesak pemerintah untuk membatalkan aturan Tapera yang mewajibkan pekerja atau buruh untuk membayar iuran Tapera sebesar 2,5% dari upah dan pengusaha sebesar 0,5% dari upah,

“Kami memdesak pemerintah untuk membatalkan aturan Tapera, karena sekali lagi kalo dipaksakan, itu hanya semakin menambah deret penderitaan bagi kaum buruh,” ujar Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi, Mochamad Popon, kepada HALOSMI.COM, Jumat, 31 Mei 2024.

Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Tapera yang mewajibkan semua pekerja membayar iuran Tapera itu sangat merugikan bagi kaum buruh. Terlebih, upah buruh yang saat ini masih belum layak dan diperparah lagi dengan biaya kebutuhan yang semakin tinggi.

“Ya dengan adanya Tapera ini sangat memberatkan buruh, karena dengan upah yang saatini masih rendah saja, pekerja atau buruh sudah dibebani potongan iuran BPJS, seperti Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun dan Jaminan Kesehatan,” jelasnya.

Selain itu, kata dia, saat ini banyak para buruh yang sudah sangat berkurang penghasilannya. Pasalnya, dari upah bulanan yang diterimanya itu harus membayar cicilan kredit ke lembaga keuangan, seperti cicilan kendaraan, KPR Kredit Pemilikan Rumah ((KPR), hingga membayar cicilan lain sebagai dampak dari rendahnya upah yang diterima.

“Sehingga kalau aturan mengenai Tapera ini diberlakukan, itu hanya akan menambah deret penderitaan bagi kaum buruh,” terangnya.

Apabila pemerintah punya itikad baik untuk mendorong kepemilikan rumah bagi masyarkat yang berpenghasilan rendah, lanjut dia, seharusnya disubsidi pemerintah agar masyarakat mendapatkan rumah, bukan dipaksa mensubsisi negara untuk membiayai program pemerintah dengan embel-embel Tapera.

“Kalau memang pemerintah benar punya itikad baik untuk mendorong kepemilikan rumah terhadap masyarakat dan buruh menjadi bagian didalamnya, mestinya program ini diberlakukan secara sukarela, bukan malah dipaksa untuk ikut dan membayar iurannya, sementara pendapatan mereka dengan tidak dipotong iuran Tapera aja sudah kecil,” bebernya.

Maka dengan dipaksakannya Tapera ini terhadap semua masyarajat, sambung dia, pihaknya menduga hal ini sebagai akal-akalan pemerintah dengan tujuan menutupi defisit keuangan negara untuk membayar program pemerintahan baru nantinya, seperti makan siang dan minum susu gratis yang jelas-jelas memerlukan anggaran yang besar. Sedangkan disisi lain kondisi keuangan negara sedang defisit.

“Sehingga kalau mereka dipaksa lagi oleh negara untuk membayar iuran Tapera, sebenarnya program ini untuk siapa?, dan pastinya ini kalo dilanjutkan akan menjadi resiko terjadinya pemiskinan terhadap kaum buruh yang notabenenya upahnya masih rendah,” pungkasnya. (*)

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari halosmi.com di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *