Sampai Kapan El Nino Hilang, BMKG Berikan Penjelasan Cek Disini!

Ilustrasi dampak El Nino. Foto: dok IMAGO/Nikito
Ilustrasi dampak El Nino. Foto: dok IMAGO/Nikito

HALOSMI.COM – Fenomena El Nino dinilai lebih kuat efeknya ketimbang tiga tahun terakhir. Wilayah selatan khatulistiwa pun mengalami kekeringan panjang. Lalu ampai kapan penderitaan ini berlangsung?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menjelaskan, El Nino merupakan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah. Bentuknya, lebih panas dari kondisi normal.

Sementara, anomali suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari normalnya.

Pada saat terjadi El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah, hal itu menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.

Yang membuat kekeringan kali ini lebih parah, adalah munculnya fenomena sejenis di Samudera Hindia, yakni Indian Ocean Dipole (IOD).

“Dampaknya adalah sesuai dengan yang diprediksi, adanya kekeringan yang lebih panjang dan lebih intensif dan skalanya lebih kuat daripada tahun 2020, 2021, dan 2022. Kurang lebih sama dengan tahun 2019,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis 19 Oktober 2023.

Dalam prediksinya, BMKG mengungkap El Nino membuat beberapa wilayah mengalami curah hujan bulanan dengan kategori rendah (0 – 100 mm/bulan), utamanya pada Agustus, September, Oktober.

Wilayah-wilayah itu meliputi Sumatera bagian tengah hingga selatan, pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.

Ramalan itu pun jadi kenyataan. Deret daerah yang masuk jajaran elite curah hujan amat rendah didominasi dari wilayah selatan ekuator.

Yakni, Sumba Timur (NTT) 166 hari tanpa hujan, Rote Ndao (NTT) 166 hari tak hujan, Kota Bima (NTB) 164 hari tanpa hujan, Lombok Utara (NTB) 163 hari tiada hujan, dan Lombok Timur(NTB) 143 tak tersentuh hujan.

Sementara, wilayah di Pulau Jawa yang paling lama tak tersentuh hujan adalah Boyolali, Jawa Tengah(141 hari tak kena hujan).

Bisa jadi El Nino kuat?

Aaron Levine, ilmuwan atmosfer di University of Washington, AS, yang penelitiannya berfokus pada El Nino, bicara soal kemungkinan fenomena ini berkembang jadi level kuat.

Menurutnya, El Nino kuat, dalam definisi paling dasar, terjadi ketika suhu rata-rata permukaan laut di Pasifik khatulistiwa setidaknya 1,5 derajat Celcius lebih hangat dari biasanya. Ini diukur berdasarkan kotak imajiner di sepanjang khatulistiwa, kira-kira di selatan Hawaii, yang dikenal sebagai Indeks Nino 3.4.

“Namun El Nino merupakan fenomena laut-atmosfer yang terjadi bersamaan, dan atmosfer juga memainkan peranan penting,” ujarnya.

Hal yang mengejutkan mengenai El Nino tahun ini, dan hingga saat ini masih terjadi adalah bahwa atmosfer tidak merespons sebanyak yang diprediksi berdasarkan kenaikan suhu permukaan laut.

Atmosfer inilah yang menyalurkan dampak El Nino. Panas dari air laut yang hangat menyebabkan udara di atasnya memanas dan naik, sehingga memicu terjadinya curah hujan. Udara itu tenggelam lagi di atas perairan yang lebih dingin.

Naik turunnya atmosfer menciptakan putaran raksasa di atmosfer yang disebut Sirkulasi Walker. Ketika warm pool hangat bergeser ke arah timur, hal itu juga menggeser terjadinya gerakan naik dan turun.

“Reaksi atmosfer terhadap perubahan ini seperti riak di kolam saat Anda melempar batu ke dalamnya. Riak ini memengaruhi gelombang kencang atmosfer (jet stream), yang mengubah pola cuaca.”

“Tahun ini, dibandingkan dengan peristiwa El Nino besar lainnya – seperti tahun 1982-83, 1997-98, dan 2015-16 – kita tidak melihat perubahan yang sama pada lokasi terjadinya curah hujan. Butuh waktu lebih lama untuk berkembang, dan tidak sekuat itu,” tutur Levine.

Senada, indeks-indeks yang memperhitungkan atmosfer di Pasifik, berdasarkan pengukuran ketinggian awan yang dipantau oleh satelit atau tekanan permukaan laut di stasiun pemantauan sejak Mei dan Juni, tidak dalam bentuk yang sangat kuat.

“Bahkan pada September, besaran magnitudo secara keseluruhan masih belum sebesar tahun 1982.”

Ia membuka kemungkinan bahwa ini terkait suhu seluruh daerah tropis yang sangat panas. Namun, karena jarang terjadi dan variabilitas antar-kejadiannya besar, pihaknya sulit menyimpulkan.

“Bagaimana El Niño akan berubah seiring dengan pemanasan global adalah pertanyaan besar dan terbuka,” aku dia.

Masa hidup El Nino

Dwikorita, dalam konferensi pers belum lama ini mengungkap BMKG mendeteksi fenomena ini mulai muncul pada pertengahan Mei 2023.

Gangguan iklim ini terus berkembang mencapai level El Nino moderat sejak akhir Juli 2023. Saat itu Indeks El Nino berada pada nilai +1.504.

Data terbaru BMKH mengungkap El Nino masih masuk level moderat dengan Southern Oscillation Index (SOI) -9.9 dan Indeks NINO 3.4 +1,50. Senada, IOD masih level positif dengan Dipole Mode Index (DMI) +1.92.

“Berdasakan pengamatan BMKG melalui data satelit terkait suhu muka air laut, kami prediksi itu akan dimulai sejak bulan Juli tahun ini dan berakhir tahun depan, yaitu di bulan sekitar Februari-Maret,” ucapnya.

Model Prediksi ENSO BMKG mengungkapkan El Nino mencapai level tertingginya pada September 2023. Grafik cenderung stagnan dengan angka di atas +1,5 hingga Oktober. Pada November, El Nino mulai menurun ke +1,5, sebulan kemudian sekitar +1,25.

Anomali iklim ini mulai masuk level lemah dengan angka sedikit di bawah +1,0 pada Januari 2024. Pada Februari 2024, angkanya terus menurun.

Kenapa bisa hilang?

Levine mengungkap El Nino, berdasarkan rekam jejaknya, menurun dengan sangat cepat selama musim semi di belahan Bumi utara.

“Hampir semuanya berakhir pada bulan April atau Mei. Salah satu alasannya adalah El Nino menabur benih kehancurannya sendiri. Ketika El Nino terjadi, air hangat tersebut habis dan volume air hangat menyusut. Akhirnya, bahan bakarnya terkikis,” jelas dia.

Permukaan bumi mungkin tetap hangat untuk sementara waktu. Namun, kata dia, setelah panas dari bawah permukaan hilang dan angin pasat kembali muncul, peristiwa El Nino akan terhenti.

Pada akhir peristiwa El Nibo yang lalu, anomali permukaan laut turun dengan sangat cepat dan kita melihat kondisi biasanya beralih ke La Nina – kebalikan dari El Nino yang lebih dingin.

“Kita akan melihat apakah atmosfer akan kembali normal pada musim dingin (Winter di AS Desember 2023-Maret 2024), ketika El Nino mencapai puncaknya,” tutupnya. (*)

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari halosmi.com di Google News