Simak Kepala BMKG Beberkan Soal Peringatan Dini Tsunami yang Terlambat

HALOSMI.COM- Dwikorita Kwrnawati seorang kepala BMKG menceritakan soal peringatan dini tsunami yang terlambat, ternasuk potensi gempa dan tsunami beberapa tahun lalu

Dia menjelaskan sistem peringatan dini pada saat gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004. Saat itu sistemnya masih belum memadai, hanya ada 25-50 sensor seismograf.

“Pengolahannya masih manual, masih menggunakan busur derajat, penggaris, pensil, komputernya masih sangat tertinggal. Sehingga sulit bagi BMKG saat itu untuk segera posisi gempa bumi nya di mana magnitudonya berpotensi tsunami atau tidak,”

kata Dwikorita saat World Tsunami Awareness Day, dikutip dari kanal Info BMKG, Sabtu 4 Oktober 2023.

Gempa tersebut memiliki kekuatan besar. Ini sama seperti yang terjadi saat gempa di Aceh hampir 20 tahun lalu sebesar 8,5 SR.

“Sehingga jaringan seismograf menghadap ke zona megathrust. BMKG saat itu belum berpikir belum menyiapkan akan terjadinya tsunami tipenya lain. Yang dipikirkan yang mematikan, tsunami akibat gempa megathrust,” jelasnya.

Dia mengatakan ternyata terdapat tsunami non-seismik yang terjadi di Indonesia. Sayangnya peringatan dini tsunami belum siap saat itu.

“Maka kejadian tsunami di Palu menyadarkan kita betapa pentingnya peringatan dini atau sistem monitoring, sistem peringatan dini untuk non-seismik tsunami,” kata Dwikorita.

Dia menjelaskan peringatan dini yang ada saat itu memberikan waktu 5-10 menit untuk tsunami dan gempa selama lima menit. Tapi yang terjadi di Palu, tsunami datang pada menit ke-2.

Kejadian tersebut juga menjadi pelajaran baru. Yakni menyempurnakan sistem yang ada untuk juga bisa mendeteksi tsunami non-seismik dengan waktu yang sama cepat.

“Kami terus bekerja keras mengejar kemajuan teknologi. Jangan sampai keduluan tsunaminya. Seperti terjadi di Palu keduluan tsunami, keduluan tiga menit,” ujarnya.

“Kita harus memetik pelajaran penting dari tragedi 20 tahun yang lalu saat tsunami di Aceh. Jangan sampai korban jiwa dan kerugian ekonomi yang sangat besar terulang,” tambahnya.

Seperti yang dicanangkan oleh sekjen PBB hingga tahun 2027 diharapkan 100% masyarakat di daerah rawan selalu siap dalam menyelamatkan diri saat tsunami demi mewujudkan Safe Ocean.

“Jangan terlalu puas dengan teknologi karena masih banyak ditemukan kekurangan,” ujarnya.

Tidak cukup mengandalkan teknologi. Tapi pusatnya, kata Dwikorita, tetap ada di masyarakat. Menurutnya kearifan lokal terbukti bisa menyelamatkan masyarakat.

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari halosmi.com di Google News