Wisata  

Journalist Journey Solidarity Overland: Berpetualang Menyusuri Kampung Baduy Jero, Kearifan Lokal Suku Baduy Setia Melestarikan Ajaran Leluhur

Tim JJS Overland foto bersama dengan warga asli Baduy Jero.

BANTEN, HALOSMI.COM – Masyarakat adat Baduy adalah salah satu contoh masyarakat Sunda asli yang masih mempertahankan nilai-nilai dan tradisi leluhur. Memilih untuk tertutup, tidak tersentuh segala modernisasi. Ajaran demi ajarannya masih sangat murni berdasarkan adat istiadat yang disampaikan secara turun-temurun. Dalam setiap perilaku dan aktivitas kesehariannya, masyarakat Baduy, khususnya Baduy Jero atau Baduy Dalam tetap bertahan dalam menaati ajaran nenek moyang selama berabad-abad. Hidup damai dan rukun dengan sesama, serta harmonis menyatu dengan alam.

Salah satu ajaran yang dipegang adalah Wangsit Baduy yang berbunyi, “gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirusak, larangan teu menang direumpak, buyut teu menang dirubah, pondok teu menang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun, kudu ngadek sacekna, nilas saplasna”.

Kali ini, Journalist Journey Solidarity (JJS) bareng Bank BJB berkesempatan melakukan Saba Budaya Baduy pada Sabtu-Minggu (28-29/1/2023). Kru bertolak dari Sukabumi pada Jumat (27/1/2023) malam. Menempuh perjalanan via Bogor-Leuwiliang-Rangkasbitung-Lebak selama sekitar enam jam. Total 12 kru berangkat menggunakan empat kendaraan roda empat. Sabtu pagi kru sudah tiba di tempat bernama Terminal Cijahe, salah satu titik menuju Baduy Luar dan Baduy Jero.

Di Terminal Cijahe itu pula kru bertemu dengan enam orang warga asli Baduy Jero yang siap menjadi pemandu. Mereka adalah Sanip (40), Sarip (47), Sarmin (24), Aja (40), Asma (12) dan Arda (10). Mereka semuanya masih satu saudara sedarah. Usai sarapan, kru berbincang bersama keenam ‘guide’ tersebut mengenai rute perjalanan. Setelah melengkapi persiapan dan perbekalan, akhirnya pukul 08.00 WIB kru memulai perjalanan berjalan kaki. Sekitar dua jam naik turun bukit, sembari membelah hutan dan rimba, akhirnya kru tiba di Kampung Cibeo Baduy Jero. Di perjalanan kru juga sempat melewati Kampung Cikertawana. Sejak memasuki perbatasan menuju Baduy Jero, semua kru menyimpan rapat-rapat barang elektronik, tak terkecuali gawai.

Di Kampung Cibeo yang sangat bersih dari sampah itu, kru beristirahat di rumah Sanip dan Sarip. Sembari beristirahat dan menunggu makan siang disiapkan, kami pun berbincang dengan Sanip. Sesekali menikmati durian khas Baduy. Dalam perbincangan itu, Sanip menceritakan bahwa mereka tak mengenal tulisan. Ajaran-ajaran leluhur disampaikan secara lisan atau bertutur dan praktik sehari-hari. Anak-anaknya, baik Baduy Jero maupun Baduy Luar tidak sekolah formal. “Sebagai gantinya, anak-anak diajarkan di sekolah adat. Tapi lebih banyak pendidikan diajarkan orang tua masing-masing,” kata Sanip.

Bahasa yang digunakan masyarakat baduy sehari-hari adalah Bahasa Sunda Banten dengan dialek khas Baduy. Meski demikian, mereka juga cukup fasih dalam berbahasa Indonesia. Walau tak sekolah formal, namun masyarakat Baduy masa kini kebanyakan sudah bisa membaca, tidak buta huruf. Bicara soal wilayah, secara administratif, kawasan Baduy Jero berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam berpakaian, masyarakat baduy ini tetap mengenakan pakaian adat. Di Baduy Jero, ikat kepala disebut Telekung, sementara Baduy Luar disebut Romar. Lalu baju khasnya disebut Jamang Kurung. Masyarakat Baduy Jero boleh memakai Jamang Kurung warna putih maupun hitam, tidak boleh warna lain. Untuk Baduy Luar hanya memakai warna hitam. Kemudian, Baduy Jero tidak mengenakan celana, namun memakai kain tenun motif bergaris selutut yang disebut Samping Aros. Sementara Baduy Luar biasanya memakai celana pangsi hitam.

Bicara soal alas kaki, Baduy Luar masih boleh memakai sepatu atau sandal. Kalau Baduy Jero sudah jelas, kemana pun mereka pergi sudah terbiasa bertelanjang kaki. Sejauh dan seterjal apa pun jalan yang dilalui, harus tetap Nyeker. Telapak kakinya seperti sudah dilapisi bantalan khusus anti pegal dan nyeri. “Anak-anak Baduy Jero yang terbiasa diajak “Ngalanjak” atau berburu, sudah dibekali golok yang selalu ditengteng di pinggangnya. Ada juga tali yang dipasang melilit di pergelangan tangan, disebut Gelang Kapuru. Fungsinya sebagai penolak bala,” sambung Sanip.

Dari perbincangan itu juga diketahui bahwa Baduy Jero memiliki tiga kampung, antara lain Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana. Masing-masing memiliki sesepuh kampung yang disebut Puun. Cibeo dipimpin Puun Jahadi, Cikertawana dipimpin Puun Dalkin, Cikeusik dipimpin Puun Eman. Perkampungan Baduy Jero dikelilingi 60 kampung Baduy Luar yang dipimpin 7 Jaro alias Kepala Desa. Ciri khas perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Jero adalah jembatan rawayan yang membelah Sungai Ciujung. Jika sudah melintas jembatan rawayan, maka secara otomatis sudah tidak boleh ada lagi alat-alat atau barang-barang elektronik.

“Kita masyarakat Baduy menyebut ajaran leluhur itu sebagai amanah istilahnya. Amanah itu saya diajarkan sama orang tua saya. Kemudian saya ajarkan ke anak-anak saya. Begitu terus-menerus dituturkan secara turun temurun. Kalau misalkan ada yang melanggar aturan adat, itu ada semacam sanksi. Ada yang dihukum misal harus keluar dari kampung Baduy Jero selama beberapa hari. Kalau melanggarnya benar-benar berat, dikeluarkan selamanya,” tegas Sanip. (*)

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari halosmi.com di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *