Wisata  

Menguak Wisata Alam Tersembunyi di Pesisir Selatan Sukabumi

SUKABUMI, HALOSMI.COM – Dikenal sebagai kabupaten terluas kedua se-Jawa dan Bali setelah Banyuwangi, Kabupaten Sukabumi sejak dulu memang sudah dikenal dengan kekayaan alamnya. 

Memiliki luas wilayah 4.146 kilometer persegi, Kabupaten Sukabumi dikelilingi oleh kekayaan alam gurilaps. Ya, gurilaps jargon wisata Kabupaten Sukabumi yang merupakan singkatan dari gunung, rimba, laut, pantai dan sungai. Gurilaps ini yang juga menjadi magnet para pecinta offroad untuk menjajal beberapa trek menantang, khususnya yang ada di wilayah pesisir selatan Kabupaten Sukabumi. 

Dalam sebuah ekspedisi singkat bertajuk Journalist Journey Sukabumi (JJS) Overland 2022, berisi tujuh jurnalis atau wartawan dengan latar belakang dan spesialisasi yang berbeda-beda ini digawangi para jurnalis dari media cetak, online dan televisi ini.

Journalist Journey Sukabumi (JJS) Overland 2022.

Bukan sekadar pelesiran atau main lumpur, ekspedisi singkat ini, ingin mengungkap pembicaraan orang selama ini bahwa Selatan Sukabumi merupakan surga destinasi wisata yang masih jarang dikunjungi orang, wabil khusus objek wisata yang trek-treknya terbilang cukup menantang. 

Kru berangkat menggunakan tiga kendaraan roda empat dengan spesifikasi four wheel drive (4WD) alias mobil 4×4. Dari pusat Kota Sukabumi, menempuh perjalanan via Jampang Tengah-Lengkong lalu berbelok ke rute Puncak Buluh, Jampang Kulon. Belum apa-apa sudah disuguhi jalan aspal berlubang dan mengelupas. Pada beberapa bagian aspal digenangi air sisa-sisa guyuran hujan. 

Meski belum bisa dibilang trek yang menantang, namun aspal berlubang dan mengelupas itu jadi ajang pemanasan. Kesal terobati setelah disuguhi panorama alam dan pemandangan laut selatan di Puncak Buluh dengan ketinggian sekitar 200 mdpl.

“Di Puncak Buluh itu, kami menepi. Beberapa kru kebelet ngopi karena tak kuat disuguhi panorama tanah Pajampangan dari atas ketinggian 200-an mdpl. Puncak buluh adalah salah satu spot favorit masyarakat di selatan Sukabumi untuk berwisata. Dari beberapa titik spot, birunya Samudera Hindia membentang luas seperti tak berujung,” ungkap ketua ekspedisi, Vega Sukmayudha yang merupakan wartawan Radar Sukabumi.

Dari Puncak Buluh, tim kemudian melanjutkan perjalanan menuju kawasan Pantai Karang Bolong, Kecamatan Cibitung. “Perlu perjuangan ekstra menuju ke sana. Tiga jam kami habiskan untuk masuk wilayah itu dari Kecamatan Surade. Jalan aspal mulus memang masih kami temui selama keluar dari Jampang Kulon hingga beberapa desa di Surade. Di pertigaaan masuk wilayah Desa Sukatani, jalan mulai mengajak kami berkonsentrasi. Sempit dan sebagian mulai berbatu. Hingga akhirnya kami bertemu muara Sungai Cikarang Bolong,” imbuh Vega.

“Daerah itu sempat membuat hati saya tak karuan. Antara nekat menyebrang atau tidak. Maklum, deburan ombak samudera seolah mengajak bertarung kepada saya dan tim untuk menaklukan obstacle ini. Namun berdasarkan survei dan analisa arus serta kedatangan gelombang, Rizki Gustana selaku road captain kami memutuskan untuk membatalkan penyeberangan dengan alasan keselamatan. Sebesar-besarnya tenaga mesin kendaraan kami akan kalah dengan arus balik gelombang laut yang menerjang ke aliran sungai itu,” ungkap Vega menjabarkan.

Tak ingin ekspedisi berujung konyol, akhirnya kru sepakat mengganti destinasi sementara untuk beristirahat dan mendirikan kemah. Rombongan bergerak menuju Pantai Cicaladi yang masih berada di Kecamatan Cibitung, letaknya secara geografis memang berada di sebelah Pantai Karang Bolong. 

Namun trek memutar dengan jalan lumpur dan berbatu harus dilalui, hingga harus melintasi area Leuweung Hideung (Hutan Hitam). Kekecewaan karena tak bisa melintasi muara menuju Karang Bolong terobati setelah menikmati suguhan senja dan deburan ombak di penghujung hari menjelang malam.

“Luar biasa, hilang satu tumbuh seribu begitu terasa di benak kami. Meski tak sampai menjajal trek awal tujuan, kami mendapat suguhan karya Tuhan yang begitu mempesona. Jejeran bukit karang dengan kemiringan 90 derajat, seolah berdiri angkuh menahan deburan gelombang samudera. Kemudian, Cicaladi menjelang pagi begitu eksotis. Sunrise masih malu-malu menampakkan diri. Kendati begitu kerlap-kerlip lampu yang semalam membuat suasana romantis bagi mereka yang berpasangan, masih belum padam. Segeg benur begitu masyarakat setempat menyebut, menjadi daya tarik kawasan ini,” sambung Vega.

Vega menggambarkan, sepanjang bibir karang yang berdiri, segeg berjajar rapi dan menjadi salah satu pintu mencari rezeki tambahan nelayan di sana. Saat benur masih diperbolehkan ditangkap oleh Menteri Kelautan terdahulu, segeg yang dibuat dari batang bambu dan dirangkai menjorok ke atas permukaan laut digunakan nelayan menjaring baby lobster tersebut. 

Namun saat ini, segeg bisa berfungsi lain. Di bagian pondasinya yang kokoh, siapapun yang berkunjung ke tempat ini bisa menguji adrenalinnya. Berjalan ke ujung segeg, seolah menjadi pembuktian keberanian. Betapa tidak, deburan ombak 15-25 meter di atas segeg bisa membuat lutut gemetar.

“Yang setengah hati jangan coba main-main. Tidak ada safety kit apapun yang disiapkan. Hanya modal niat, tangan yang kuat berpegangan sisi kanan kiri segeg dan kaki yang mantap melangkah yang bisa melewatinya. Dari delapan orang, kami hanya bisa mengamati dari dekat segeg-segeg itu. Di lumpur kami masih oke. Di atas segeg jangan coba-coba. Memandang ombak yang saling beradu di celah karang saja kami takjub luar biasa,” ucap Vega sembari tertawa.

Lepas menginap semalam di Pantai Cicaladi Cibitung, kru kembali menjajal rute sepanjang Pantai Minajaya hingga Pantai Karang Gantungan yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Surade. Pantai Karang Gantungan dikenal para traveler sebagai Uluwatu-nya Sukabumi. Sebelum masuk trek, road captain, Rizki Gustana yang merupakan kontributor TvOne mengajak tim menjajal Sungai Cipamarangan, pembatas Desa Sukatani dan Cipeundeuy Kecamatan Surade.

“Alih-alih melanjutkan perjalanan, kami berbagi tugas mengeksplorasi dasar sungai menggunakan beberapa bilah tongkat hiking. Otak ngeres saya langsung timbul. Dua kendaraan kami yang mengikuti di belakang, bakal dikerjai. Benar saja. Road captain Rizki Gustana langsung memberi aba-aba agar kendaraan kami turun menyeberang aliran sungai. Sementara kendaraan miliknya bertugas sebagai recovery bila terjadi gangguan,” ulas Vega.

“Mulanya, Suzuki Jimny milik Panji Apriyanto, kontributor Net TV menjajal trek. Panji tampak lincah menjajal kendaraan di atas lumpur. Lumpur di pinggiran sungai berair jernih lumayan dalam. Bisa selutut. Tak sampai 30 menit menggeber gas, dia sudah nyemplung di aliran sungai yang memiliki lebar 15 meteran. Kendaraan diparkir di tengah sungai. Giliran saya, body kendaraan jebrag saya masuk lumpur. Sayang, traksi ban depan ogah-ogahan mencengkram. Jadilah stak. Lumpur nya hampir menutup sebagian tubuh ban. Ya sudah. Tropper pun turun tangan mengerek keluar Nissan Frontier yang saya kemudikan. Karena memang tidak memakai winch depan, jadilah kabel strep jadi penolong di obstacle kali ini,” ujarnya.

Semakin siang, cuaca di kawasan Pajampangan semakin panas. Kru memutuskan menggeber kendaraan agar bisa cepat sampai Pantai Minajaya, lalu ke Pantai Karang Gantungan yang dikenal Uluwatu-nya Sukabumi itu. Begitu keluar dari kawasan Pantai Minajaya, kendaraan memilih masuk kawasan perkebunan penyadap kelapa Pasiripis Surade menuju Karang Gantungan.

Medan tanah merah, berlumpur dan licin menjadi mood penyemangat setelah insiden sulit sinyal. Konsentrasi dibuat benar-benar full. Salah napak sedikit, kendaraan bisa terjerembab. Terlebih ada beberapa trek menanjak yang lumayan panjang untuk ditaklukan. Di beberapa obstacle, kru beberapa kali menepi. Mengabadikan momen birunya samudera di atas ketinggian. Indah. Desiran angin laut juga terasa bersahabat di dalam kabin.

Berkali-kali pula tim gantian untuk lolos dari semua rintangan lumpur di depan kendaraan. Komunikasi satu-satunya adalah pesawat Handy Talkie (HT) yang ada di semua kendaraan. Riuh untuk saling mengingatkan betapa trek yang terlihat seperti mudah tapi ternyata lumayan saat ditapaki. Traksi ban depan dan belakang serta permainan kemudi harus benar-benar dikuasai secara maksimal jika tak ingin mobil oleng ke kanan atau kiri karena licinnya medan. Hampir dua jam di tengah perkebunan penyadap kelapa dan separuh hutan tropis, kru melahap semua obstacle yang ada. Di trek yang lurus dan kering, malah permainan gas ditunjukan tiap-tiap kendaraan hingga debu-debu tanah saling berterbangan. 

“Ada beberapa spot foto saat berada persis di pinggir bukit yang berpanorama laut lepas. Beberapa rumah warga penyadap juga masih ditemui meski jarang-jarang. Deburan ombak menyambut saat kami singgah di warung semi permanen milik warga di Pantai Karang Gantungan. Suguhan kelapa muda menjadi pengobat dahaga kami sepanjang perjalanan. Karang Gantungan adalah pantai di atas tebing 30 sampai 50 meteran. Salah satu spot tersembunyi yang kami kunjungi,” lanjut Vega.

Di Pantai Karang Gantungan, bongkahan karang yang terpisah sebagai pulau kecil menjadi ciri khas pantai ini. Dilihat dari atas ketinggian, terlihat jelas pantai ini seolah kembarannya Uluwatu. Sayang, belum terkelola maksimal. Meski di beberapa sudut, tim dan pengunjung yang didominasi wisatawan lokal asyik swafoto. Perlu perjuangan untuk turun ke bibir pantai dari atas. Ada beberapa tangga yang dibuat oleh warga setempat. Di bawah pun tak boleh renang sembarangan. Selain lepas pantai, arus kuat berisiko membawa siapapun yang nekat berenang di sana. Ke bongkahan karang itu pun tak bisa menunggu arus laut surut.

“Ini pantai selatan. Sesurut-surutnya air, arusnya tetap kuat. Hanya nelayan yang kerap mancing yang bisa menuju bongkahan karang. Itu pun jarang-jarang. Menurut pedagang yang saya temui, akses menuju tempat ini hanya ramah oleh roda dua atau kendaraan berspesifikasi offroad. Mobil lain bisa saja masuk. Hanya risiko tanggung sendiri jika mau memaksakan,” kata Vega.

“Bupati Sukabumi Marwan Hamami memang baru beberapa bulan membuka akses jalan ke tempat ini. Masih tanah dan belum aspal. Mungkin ke depan akan dikeraskan dulu hingga betul-betul rata dan tidak licin jika hujan. Pedagang di sini pun musiman. Jika hari biasa mereka hanya jualan Sabtu dan Ahad saja. Meski berpeluh keringat, kami bahagia. Di spot ini kami bisa mengabari keluarga dan kerabat setelah setengah hari handphone kami nyaris pingsan karena tak ada sinyal sedari dari Minajaya. Sesekali, laporan kerjaan pun bisa kami update. Yang sedang fokus menulis, bisa mencari referensi tulisannya lagi di Google,” imbuh Vega.

Perjalanan berlanjut dengan tujuan puncak acara syukuran nelayan Ciwaru, Kecamatan Ciemas tahun ini. Meski tak lagi berjibaku dengan obstacle lumpur, sinyal butut membuat kru tak fokus menentukan trip selanjutnya hingga terpaksa diakhiri. Dalam perjalanan, sesekali, tim harus mengalah dengan kendaraan truk diesel pengangkut gula aren sadapan masyarakat setempat. Di beberapa titik, tiga kendaraan pengangkut rombongan harus maju satu-satu.

Rizki Gustana, sang road captain terus memandu dengan hati-hati. Pengalamannya sangat dibutuhkan. Apalagi, pria yang karib disapa Kiki itu juga dikenal tokoh offroad Sukabumi sekaligus pegiat wisata. Kiki sendiri membentuk sebuah komunitas bernama Sukabumi Get Lost. Saat dalam perjalanan dari Pantai Karang Gantungan menuju Ciemas, baru beberapa kilometer mobil Nissan Frontier yang dikemudikan Vega mengalami trouble pada as roda depan.

“Betul saja, di salah satu obstacle yang tak rata, bunyi kaki-kaki semakin tak karuan. Tenaga mesin mobil saya yang besar seolah tak kuat bergerak saat terjerembab di tanah yang dalamnya tak seberapa. Traaaakkkkk! Terdengar bunyi yang kurang menyenangkan. Dua awak kabin di mobil saya yang turun memeriksa kendaraan memastikan dan benar saja ada trouble. Diderek lah akhirnya dengan tali strap. Harga diri saya seolah turun waktu itu. Dari Pantai Karang Gantungan sampai Jalan Raya Ciracap-Surade memang tak jauh. Tiga kilometeran. Tapi diberi medan lumpur, waktu yang kami habiskan hampir satu jam lebih,” terang Vega.

Akibat trouble itu, rencana awal mengitari Bukit Teletubies di perairan Kecamatan Ciracap-Ujung Genteng menuju kawasan Palangpang, Geopark Ciletuh-Palabuhanratu via Cikangkung-Mareleng agar bisa dituju sore hari, akhirnya dibatalkan. Tak mau asal memilih tempat, tim putuskan agar berhenti di Bukit Panenjoan. Landmark utama Geopark itu memang cukup terkenal. Amphitheater raksasa kawasan taman bumi ini bisa terlihat di sana. Di ketinggian 300-an mdpl, Desa Ciwaru dan beberapa desa di Kecamatan Ciemas terlihat kecil dari kejauhan. Panorama lautnya juga menggoda bila berpadu dengan kembalinya matahari ke peraduan.

Perlengkapan perang montir dari kendaraan sang Kiki diturunkan. Sementara beberapa anggota tim lainnya memilih istirahat sejenak sembari menunggu waktu ashar. Saat ditelusuri apa yang sebenarnya terjadi, penyakit kaki-kaki yang kerap terjadi pada kendaraan berpenggerak empat roda ini ketemu. CV joint as roda depan sebelah kiri hancur tak karuan. Kami pun berinisiatif membongkar sementara komponen penghubung gardan mesin ke poros roda itu. Beruntung mobil bisa kembali dijalankan meski hanya tiga roda saja yang berjalan.

“Sampai di Palangpang kita tidak lagi mendirikan kemah. Kita disuguhi Villa Betmen di Pantai Palangpang. Waktu sudah menjelang magrib. Riuh manusia sangat terasa berbeda dibanding hari-hari biasa. Masyarakat Ciemas sedang pesta syukuran nelayan. Puncaknya ya malam Ahad waktu itu. Homestay dan penginapan terlihat full booked. Kendaraan tak hanya berplat Sukabumi saja. Jakarta Bandung juga mendominasi. Maklum, malam hari ada pesta seribu lampion yang menjadi magnet orang-orang datang menjadi saksi puncak acara,” ulas Vega.

Riuh acara masih berlangsung tapi badan kru tak kuat berlama-lama di sana. Sebelum meninggalkan panggung, Ketua Panitia Syukuran Hari Nelayan, Ujang Abdurrohim Rochmi atau karib disapa Dewan Betmen sempat berbincang. Ia meminta bahwa kelangsungan event hari nelayan Ciemas harus tetap mendapat dukungan semua pihak. Terlebih, Geopark Ciletuh-Palabuhanratu akan direvalidasi ulang oleh lembaga dunia yang berkutat soal urusan cagar alam dan kepariwisataan, UNESCO.

“Sepanjang acara, problematika utama di kawasan itu tak lebih berkutat pada soal sinyal. Ya, sinyal handphone benar-benar drop. Orang-orang yang saya temui mayoritas mengeluhkan soal itu. Terjadi pada semua provider dan uniknya kerap kumat bila ada event-event besar. Tak elok rasanya, kelas wisata internasional yang sudah dilabeli lembaga sekelas Unesco bisa turun derajat gara-gara persoalan komunikasi yang tak tuntas. Ini PR. Bagaimana caranya pemerintah bisa mengajak semua provider memikirkan persoalan ini agar tak terjadi di kemudian hari,” pungkas Vega. (*)

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari halosmi.com di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *