Ragam  

Ternyata Ini Ketakutan Amerika Terhadap Tiktok

HALOSMI.COM- Pemerintah Amerika Serikat Menekan Tiktok habis-habisan, memaksa ByteDance untuk menjual aplikasi tersebut ke perusahaan di luar China, dan ternyata ini loh ketakutan Amerika terhadap TikTok.

ByteDance dikabarkan rela menutup TikTok daripada menjual aplikasi tersebut. Alasannya, teknologi dan algoritma yang dimiliki TikTok jauh lebih dibanding bisnis mereka di Amerika Serikat.

Empat sumber Reuters di AS menyatakan ByteDance tidak akan menjual TikTok. Alasannya, algoritma TikTok dinilai terlalu penting untuk seluruh bisnis ByteDance.

TikTok hanya menyumbang sebagian kecil dari total pendapatan dan jumlah pengguna ByteDance. Oleh karena itu, menutup TikTok di Amerika Serikat dinilai lebih baik daripada menjual aplikasi tersebut ke perusahaan Amerika Serikat.

ByteDance juga telah merilis pernyataan di Toutiao, salah satu platform media sosial miliknya, bahwa mereka tidak punya rencana untuk menjual TikTok.

Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah The Information melaporkan bahwa ByteDance mempertimbangkan menjual bisnis TikTok tanpa algoritmanya.

Algoritma yang dimiliki TikTok memang sudah lama menjadi pembicaraan di industri teknologi. Teknologi dan data yang mereka miliki disebut lebih canggih dibanding algoritma milik Google, Instagram, atau YouTube.

Teknologi TikTok yang jadi rebutan

Algoritma disebut sebagai inti dari seluruh bisnis ByteDance. Pemerintah China juga telah menempatkan algoritma sebagai aset penting yang harus diproteksi.

Bahkan pada 2020, aturan ekspor China diubah sehingga ekspor algoritma dan kode sumber harus mendapatkan persetujuan pemerintah.

Ketentuan ini tentunya bakal membuat upaya AS untuk memaksa ByteDance menjual TikTok makin sulit.

Menurut Reuters, sebelum kemunculan TikTok, dunia teknologi percaya bahwa kunci keberhasilan perusahaan media sosial adalah menyambungkan teknologi dengan koneksi sosial para penggunanya.

Namun, TikTok datang dengan cara lain yaitu algoritmanya. Algoritma TikTok digunakan untuk memahami minat pengguna, bukan “grafik sosial” seperti Instagram atau Facebook.

Menurut Catalina Goanta dari Utrecht University, perusahaan lain juga punya algoritma berbasis minat. Namun, TikTok bisa membuat algoritma ini lebih efektif dengan menggunakan format video pendek.

“Sistem rekomendasi seperti milik TikTok sebetulnya sudah banyak ditemui. Perbedaan TikTok sebagai aplikasi adalah desain dan kontennya,” katanya.

Goanta menjelaskan format video pendek TikTok membuat algoritma yang mereka kumpulkan menjadi jauh lebih dinamis.

TikTok bisa melacak perubahan minat dan pilihan pengguna, bahkan bisa tahu apa yang penggunanya ingin pada jam tertentu pada hari tertentu.

Mantan bos unit game TikTok, Jason Fung, mengatakan bahwa format video pendek juga membuat TikTok bisa mempelajari pilihan penggunanya dengan lebih cepat.

“Karena formatnya kecil, hanya video pendek, data pilihan pengguna bisa dikumpulkan lebih cepat dibanding YouTube. Di YouTube, rata-rata videonya sekitar 10 menit. Bayangkan, bisa mengumpulkan data soal pengguna setiap 10 menit dibanding data yang dikumpulkan setiap beberapa detik,” kata Fung.

TikTok juga unggul sebagai pionir. Format video pendek TikTok kini memang sudah ditiru oleh Instagram lewat Reels pada 2020 dan Shorts yang dirilis YouTube pada 2021.

Namun pada saat itu, TikTok sudah bertahun-tahun mengumpulkan data dan membangun produk.

Strategi lain TikTok adalah lebih rajin memberikan rekomendasi konten di luar minat pengguna.

Peneliti di AS dan Jerman menyatakan TikTok hanya 30-50 persen dari rekomendasi TikTok yang diberikan berdasarkan data minat pengguna.

“Temuan ini mengindikasikan bahwa algoritma TikTok memilih untuk merekomendasikan video eksplorasi dalam jumlah yang sangat banyak,” kata penelitian tersebut.

Dengan menggelontorkan video di luar minat pengguna (yang sudah diketahui TikTok), perusahaan tersebut bisa mempertajam pemahaman mereka soal pengguna sehingga membuat mereka lebih lama menghabiskan waktu di aplikasi.

Ari Lightman dari Carnegie Mellon University mengatakan bahwa TikTok juga punya taktik menggunakan hashtag untuk mengelompokkan penggunanya.

Lewat grup yang bisa dilihat oleh semua orang tersebut, TikTok bisa mempelajari perilaku, minat, dan ideologinya penggunanya dengan lebih efektif.

Pengelompokan ini adalah budaya khas TikTok. Lightman ragu produk milik perusahaan AS yang meniru kesuksesan TikTok bisa membangun budaya yang sama dengan aplikasi lain.

Padat karya

Keunggulan TikTok yang lain adalah sumber daya manusia. Namun bukan para ahli teknologi dan komputer, melainkan pekerja yang ditugaskan untuk memberikan label khusus kepada setiap konten dan pengguna.

Aktivitas pemberian label ini sudah dilakukan oleh ByteDance sejak meluncurkan aplikasi serupa TikTok versi China, yang diberi nama Douyin. Menurut Reuters, keduanya menggunakan algoritma yang serupa.

“Sekitar 2018 dan 2019, Douyin memberikan label ke setiap pengguna. Mereka menandai setiap klip video secara manual. Lalu pengguna akan diberikan tanda juga berdasarkan video yang mereka tonton. Di TikTok taktik serupa juga digunakan,” kata Li Yikai yang pernah menjadi direktur di ByteDance.

Tim pemberi label yang dikenal sebagai annotator ini sekarang makin banyak diadopsi, terutama oleh perusahaan kecerdasan buatan (AI).

“Mengurutkan label ini butuh kerja keras. Sangat melelahkan. Perusahaan China di sini punya keunggulan karena mereka bisa mempekerjakan lebih banyak orang. Biayanya jauh lebih murah dibanding perusahaan di Amerika,” kata Li Yikai.

Nah itulah penjelasan mengenai Amerika yang kini ketakutan dengan teknologi TikTok.

Follow dan baca artikel terbaru dan menarik lainnya dari halosmi.com di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *